Kondisi memprihatinkan dialami banyak penjual makanan di Singapura. Harga sewa tempat yang semakin tinggi menjadi alasan utama mereka menutup gerainya.
Nasib para penjual makanan di seluruh dunia mungkin sedang tidak baik-baik saja, termasuk para penjual makanan kaki lima di Singapura.
Inflasi dan faktor ekonomi lainnya menyebabkan harga bahan baku dan sewa tempat di Singapura semakin mahal. Alhasil, tak sedikit penjual makanan yang berakhir menyerah dan menutup gerainya.
Kondisi penjual makanan di Singapura semakin memprihatinkan usai seorang konsultan profesional membagikan unggahan di Facebook.
Pria bernama Indera Tasripin memicu diskusi online tentang kesenjangan sosial dan praktik pemilik tanah atau bangunan yang memengaruhi para penjual kecil di Singapura, lapor theonlinecitizen.com (16/05/2025).
Indera menceritakan kekecewaan setelah mengetahui warung makan Melayu populer di kedai kopi Woodland tutup. Padahal warung makan ini punya hidangan enak, seperti mie siam dan mie rebus. Namun, mereka terpaksa tutup karena alasan kenaikan biaya sewa.
Mempertahankan harga murah untuk menggaet lebih banyak pelanggan rupanya tidak menjamin sebuah bisnis kuliner bertahan. Hal ini sudah diterapkan oleh pemilik warung makan tersebut, tetapi pemiliknya tetap merasakan beban kenaikan biaya sewa.
Menurut Indera, dua bulan terakhir pemilik gerai makan itu tidak bisa mengatasi biaya sewa yang meningkat sampai S$8,000 atau sekitar Rp 101 juta.
Indera juga menambahkan cerita lain di mana banyak penjual makanan yang perlu berjuang membayar biaya sewa sekitar S$5.000 (Rp 63,222,500) dan S$6.000 (Rp 75,867,000) untuk tetap bertahan.
Meskipun bukan ia yang terdampak, tetapi pria itu mempertanyakan apakah harga sewa tersebut wajar. Menurutnya biaya sewa tempat yang tinggi ini seolah seperti perampokan dan tidak adil.
Indera membandingkannya dengan teman-temannya di agensi media dan pusat layanan lain. Mereka rupanya tidak dikenakan biaya sewa selangit padahal kantor yang mereka sewa lebih luas.
Khawatir dengan kondisi para penjual makanan kaki lima, Indera lantas melaporkan hal ini kepada Menteri Pembangunan Nasional Desmond Lee dan Anggota Parlemen Marsiling-Yew Tee GRC Hany Soh.
Pria itu mendesak agar pihak terkait mengatasi masalah yang dianggap sebagai ketimpangan sosial kepada para penjual makanan kaki lima ini.
Sebagai solusi, Indera menyerukan pemerintah Singapura membuat peraturan untuk mencegah pemilik tanah mengenakan biaya sewa berlebihan kepada pemilik kios kecil. Pasalnya, menurut Indera, sistem yang diterapkan saat ini membuat para penjual makanan kecil tidak berdaya dan tidak bisa melawan kekuatan pasar.
Unggahannya memicu komentar beragam dari netizen. Banyak yang setuju jika biaya sewa tinggi tidak akan mampu membuat para penjual kecil bertahan.
“Itulah sebabnya saat ini Anda hanya melihat merek-merek lama yang sama merayap ke penjual kaki lima di lingkungan sekitar,” ujar seorang netizen.
“Hanya pemain besar yang mampu bertahan,” jelas netizen lain.
Ada juga netizen yang membagikan contoh lain terkait dampak biaya sewa tinggi ke pedagang makanan di Singapura.
Netizen ini memberi contoh sebuah warung makan Yishun Void yang dikabarkan membayar sewa bulanan sekitar S$3.500 (Rp 44 juta). Ada juga warung makan lain di di Hougang yang tidak bisa bertahan karena dikenakan biaya sewa S$8,000 (Rp 101 juta).
Bahkan, tidak sedikit restoran legendaris di Singapura yang gulung tikar akibat biaya sewa tinggi ini.
Seperti restoran nasi kari legendaris bernama New Scissor-Cut Curry Rice Restaurant di Geylang yang sudah 30 tahun berdiri. Meskipun sudah 3 dekade berdiri, tetapi pemiliknya memutuskan untuk menutup restoran karena kondisi bisnis yang buruk dan harga sewa tempat tinggi.