Di Bogor ada banyak produsen kopi legendaris, seperti Tjap Kacamata (Bah Sipit), Tjap Teko, Tjap Opelet, dan Kopi Liong. Untuk menikmatinya tak perlu lagi mengunjungi satu persatu, tapi cukup nongkrong di kedai Sejarah Kopi.
Kegiatan itulah yang kami lakukan selepas melakukan napak tilas ke sejumlah objek bersejarah di Bogor bersama Komunitas Japas (Jalan Pagi Sejarah), Sabtu (7/6/2025) lalu.
Berlokasi di Jalan Re. Abdullah No.17, Pasir Mulya, kedai ini dikelola Jaka Afrizal Fey alias Dirga dan pegiat sejarah Pinot Johnny. Persisnya kedai kopi ini menempati area selasar kanan resto Sambal Ayang Bebep.
“Ini memang sengaja untuk melengkapi minat pengunjung setelah menyantap aneka menu makanan Sunda, bisa langsung pesan kopi di sini,” kata Dirga.
Selain Ayang Bebep dan Sejarah Kopi, lelaki yang drop out dari Jurusan Ilmu Komputer Universitas Maranatha Bandung itu mengaku memiliki 10 usaha kuliner lainnya yang tersebar di wilayah Bogor.
Karena memadukan bahan kopi dari merek-merek legendaris, semua menu racikan kopi yang ditawarkan, baik itu Kopi Tubruk, V-60, Vietnam Drip, hingga yang lebih ringan karena dicampur susu selalu ada embel-embel: Cap Babah Sipit, Opelet, Teko, atau Liong. Harga setiap cangkirnya berkisar antara Rp 15 ribu – 28 ribu.
Sambil menanti pesanan kopi datang, pengunjung dapat menyimak informasi seputar asal usul kopi, jejak para pengusaha dan pemilik kopi legendaris di Bogor, hingga kisah ‘Kaldi dan Kambing-kambing Menari’.
Menurut Johnny Pinot, biji kopi pertama kali tiba di Nusantara pada awal abad ke-18, dibawa oleh Gubernur Jenderal VOC di Hindia Belanda, Abraham van Riebeeck. Bibit kopi yang berasal dari Malabar – India lantas ditanam di lereng-lereng sungai di Buitenzorg (Bogor) dan menjadi awal mula berkembangnya komoditas kopi di Hindia Belanda.
Seiring waktu, penanaman kopi menyebar ke berbagai daerah di Jawa dan Sumatera, terutama Tapanuli. Menariknya, nama Gunung Malabar di Jawa Barat yang dikenal dengan kopi Arabicanya diyakini berasal dari kata Malabar, tempat asal biji kopi pertama yang dibawa oleh Riebeeck.
“Di Bogor ada satu kawasan yang bernama Kebon Kopi, karena dulunya dikenal sebagai area perkebunan kopi. Kawasan tersebut kemudian menjadi pemukiman elit bergaya Eropa dan dijuluki “Kota Paris” (sekarang berada di Jalan Semboja),” beber lelaki yang dijuluki ‘Kuncen Bogor’ itu.
Pada 1866, sambung Jhonny, pengolahan kopi berskala besar mulai dibangun di Buitenzorg. Kopi kualitas tinggi diekspor ke Eropa, sedangkan yang lebih rendah dijual untuk konsumsi masyarakat lokal. Tradisi minum kopi pun tumbuh di tengah masyarakat, ditandai dengan munculnya berbagai produsen kopi lokal.
Beberapa merek legendaris yang bertahan hingga kini di Bogor antara lain Tjap Kacamata (Bah Sipit), Tjap Teko, Tjap Opelet, Kopi Liong Obor, dan Liong Bulan. Sebagian masih mempertahankan kemasan klasik berbahan kertas cokelat lokasi produksi yang otentik.
Apa kekhasan cita rasa kopi racikan merek-merek legendaris itu? Kali ini Abdullah (Dullah) Abubakar Batarfie yang angkat bicara. Kepala Pusat Dokumentasi dan Informasi Al-Irsyad itu mengklaim dirinya biasa menikmati kopi kualitas premium. “Kalau Bah Sipit lebih strong baik rasa maupun wanginya. Oplet berasa kopi bubuk jadulnya,” ujarnya.
Kopi Bah Sipit, ia melanjutkan, karena terlampau asam, tak begitu enak di lambung. “Dia Arabicanya terlalu banyak, makanya sekarang ini saya pilih Tjap Teko premium karena robustanya lebih banyak 60%, 40% Arabica,” pungkas Dullah.
Sebagai bukan penggemar berat kopi, saya pribadi memilih menu yang masih tergolong baru: Sparkling Coffee alias Kopi Soda. Menu ini dibuat dari campuran kopi espresso, sparkling water (air karbonasi alias soda), irisan jeruk, dan tambahan es agar lebih segar.
Setelah saya seruput, rasanya mendekati rootbeer atau sarsaparilla, sejenis limun yang popular di era 1970/80-an. Sore itu, saya tak cuma mengenal cita rasa kopi legendaris Bogor tapi terutama juga cerita di baliknya yang lebih bermakna.