Dansus, seorang petani dari Gunung Halu, membagikan kisahnya mengelola kebun kopi. Metode alami diterapkannya untuk menghasilkan rasa kopi yang otentik.
Menanam pohon kopi di lahan perkebunan bukan hal yang mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapi petani untuk bisa memanen biji kopi dari kebun mereka.
Perjalanan panjang menanam kopi, memanennya, memproses, hingga bisa menyajikannya di kafe-kafe butuh waktu yang lama. Sudah sepatutnya petani kopi, melalui seduhan kopi di dalam gelas, diapresiasi kerja kerasnya.
Kisah kerja keras petani kopi, salah satunya dibagikan oleh Dansus. Dansus adalah petani kopi dari Gunung Halu yang tim infoFood jumpai dalam kegiatan Coffee Experience Vol.02.
Berbincang dengan Dansus, sedikit banyak ia memaparkan pengalamannya sebagai seorang petani kopi dengan kebun yang berlokasi di lereng gunung.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
Dansus, pria asal Bandung, datang ke Jakarta untuk membuka peluang yang lebih besar dan mengenal kopi dengan kacamata yang lebih luas. Saat bertemu tim infoFood di Fatmawati, Jakarta Selatan (14/9), ia menyebut sosok temannya yaitu Frega yang andil dalam membawanya keluar dari kampungnya di Gunung Halu, Bandung Barat.
Datang dalam Coffee Experience Vol.02, Dansus menceritakan dirinya yang memiliki kebun kopi di area lereng Gunung Halu. Medan perkebunannya miring, bahkan dari titik terakhir yang bisa diraih kendaraan butuh berjalan kaki sejauh 300 meter.
“Kalau ke kebun itu harus liat cuaca dulu. Kalau musim panas enak, jalannya kering. Tapi kalau hujan aksesnya tertutup longsor. Kemarin saja baru longsor,” ujar Dansus kepada kami.
Ia menyebut rute perjalanan menuju kebun kopinya terasa seperti trekking. Naik turun bukit, melewati mata air, hingga air terjun yang hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki atau kendaraan roda dua saja.
Kebun kopi yang kini dikelola Dansus merupakan warisan turun temurun dari orang tua yang ditinggalkan. Ia sendiri tak mengetahui benar asal usul kepemilikan kebun kopi tersebut, ia menyebut kebun itu dulunya milik pemerintah Belanda yang menguasai Nusantara.
Ada tiga jenis kopi yang ditemukan di sana, yaitu Arabika, Robusta, dan Liberika. Dansus menceritakan, biji kopi Liberika yang ditanam di sana seringkali disebut sebagai kopi Jawa oleh masyarakat dan petani sekitar.
Sebab ukuran biji kopinya yang panjang dengan daun yang lebih lebar. Menurut perkiraannya, luas kebun kopi yang ada di lereng Gunung Halu mencapai 10 hektar yang kini dikelola oleh petani kopi setempat.
“Ya jadi kebersamaan masyarakat sekitar saja, bagi-bagi lahannya juga saya nggak tahu karena semua orang di sana dari warisan. Yang saya tahu cuma dulu itu kebun punya Belanda. Setelah merdeka, ditinggalkan, kami-kami ini yang jadi penerusnya,” lanjut Dansus.
Dansus menceritakan bagaimana kehidupan petani di Gunung Halu masih bertahan dengan metode penanaman tradisional. Tak ada pupuk kimia maupun teknik macam-macam.
“Kita di Gunung Halu percaya kalau alam yang dibuat pasti hasil rasa kopinya paling sempurna. Tadi (trainer Indonesia Coffee Academy) ada yang cicipin, dia kaget katanya rasanya enak banget. Padahal biji kopi dari Gunung Halu yang dipunya nggak kayak gini rasanya,” paparnya.
Dansus menyebut beberapa kali kebunnya pernah didatangi oleh mahasiswa yang melakukan penelitian. Berbagai pupuk diberikan dengan harapan membantu pertumbuhan pohon kopinya.
Sayangnya pupuk yang diberikan justru merusak beberapa tanaman petani di sana. Pohonnya menjadi kering dengan daun yang berguguran dan tak lama kemudian justru mati.
“Kita (petani) nggak pernah pakai pupuk aneh-aneh yang kimia gitu. Selalu pakai pupuk dari kotoran ternak. Dari dulu diajarinya kayak gitu, jadi masih dilanjut. Buktinya cara kayak gitu saja hasilnya sudah enak,” lanjutnya.
Namun sebagai seorang petani yang bahkan masih butuh waktu 4 jam untuk masuk kota Bandung dari kebunnya, tantangan memasarkan kopi masih begitu besar. Akibat pengetahuan dan alat yang terbatas, Dansus mengaku ia hanya bisa menjual kopi dalam bentuk ceri merah saja.
Sesekali ia juga menjual kopi sebagai biji hijau, tetapi jumlahnya tak banyak. Para petani di Gunung Halu masih menjual kopi mereka hanya kepada tengkulak saja.
Harganya pun begitu murah, per kilogram ceri kopi hanya dihargai tidak lebih dari Rp 20.000. Pendapatannya hanya tinggi ketika masa panen raya yang berlangsung 1-2 kali per tahun dengan durasi 3 minggu saja.
Petani kopi di Gunung Halu disebut Dansus juga pernah ditawari bergabung pada komunitas yang mewadahi tetapi persyaratan hanya boleh menjual ke satu pihak dirasa memberatkan.
Walaupun begitu ia tak menutup mata untuk kemungkinan ada pihak-pihak lain yang ingin mewadahi dan membantu pemasaran kopi dari Gunung Halu lebih masif lagi.
Kondisi Lahan yang Menantang
Lahan Warisan Turun Temurun
Proses Penanaman Organik
Tantangan Pasar
Dansus menceritakan bagaimana kehidupan petani di Gunung Halu masih bertahan dengan metode penanaman tradisional. Tak ada pupuk kimia maupun teknik macam-macam.
“Kita di Gunung Halu percaya kalau alam yang dibuat pasti hasil rasa kopinya paling sempurna. Tadi (trainer Indonesia Coffee Academy) ada yang cicipin, dia kaget katanya rasanya enak banget. Padahal biji kopi dari Gunung Halu yang dipunya nggak kayak gini rasanya,” paparnya.
Dansus menyebut beberapa kali kebunnya pernah didatangi oleh mahasiswa yang melakukan penelitian. Berbagai pupuk diberikan dengan harapan membantu pertumbuhan pohon kopinya.
Sayangnya pupuk yang diberikan justru merusak beberapa tanaman petani di sana. Pohonnya menjadi kering dengan daun yang berguguran dan tak lama kemudian justru mati.
“Kita (petani) nggak pernah pakai pupuk aneh-aneh yang kimia gitu. Selalu pakai pupuk dari kotoran ternak. Dari dulu diajarinya kayak gitu, jadi masih dilanjut. Buktinya cara kayak gitu saja hasilnya sudah enak,” lanjutnya.
Namun sebagai seorang petani yang bahkan masih butuh waktu 4 jam untuk masuk kota Bandung dari kebunnya, tantangan memasarkan kopi masih begitu besar. Akibat pengetahuan dan alat yang terbatas, Dansus mengaku ia hanya bisa menjual kopi dalam bentuk ceri merah saja.
Sesekali ia juga menjual kopi sebagai biji hijau, tetapi jumlahnya tak banyak. Para petani di Gunung Halu masih menjual kopi mereka hanya kepada tengkulak saja.
Harganya pun begitu murah, per kilogram ceri kopi hanya dihargai tidak lebih dari Rp 20.000. Pendapatannya hanya tinggi ketika masa panen raya yang berlangsung 1-2 kali per tahun dengan durasi 3 minggu saja.
Petani kopi di Gunung Halu disebut Dansus juga pernah ditawari bergabung pada komunitas yang mewadahi tetapi persyaratan hanya boleh menjual ke satu pihak dirasa memberatkan.
Walaupun begitu ia tak menutup mata untuk kemungkinan ada pihak-pihak lain yang ingin mewadahi dan membantu pemasaran kopi dari Gunung Halu lebih masif lagi.