Aksi penipuan pengembalian barang atau makanan melalui foto yang direkayasa teknologi AI, kini menjadi perhatian besar di China. Efeknya bikin banyak penjual rugi.
Kebijakan pengembalian barang di negara tersebut memungkinkan pembeli menerima pengembalian dana tanpa harus mengembalikan produk. Hal ini dapat terjadi selama mereka mampu memberikan bukti foto kalau barang yang diterima dianggap rusak atau tidak sesuai standar.
Dilansir dari OddityCentral (06/12/2025), sistem ini pada awalnya dimaksudkan untuk mempermudah konsumen, tetapi berkembang menjadi celah bagi pihak yang memanfaatkannya secara tidak bertanggung jawab.
Dengan kemampuan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang menghasilkan rekayasa visual sangat realistis, banyak pelaku kini mengunggah foto produk yang seolah-olah rusak untuk memperoleh pengembalian dana.
Contohnya banyak pembeli kini menyunting atau merekayasa foto makanan yang mereka beli menjadi makanan yang busuk dan tidak layak untuk dimakan.
Foto ini mereka rekayasa lewat teknologi AI yang semakin canggih, sehingga foto makanan busuk itu tampak nyata. Tujuannya agar mereka bisa mendapatkan pengembalian uang dan menikmati makanan itu dengan gratis.
Kasus ini semakin meningkat karena banyak platform e-commerce di China memproses klaim pengembalian dana secara otomatis. Pengguna cukup mengunggah foto produk yang diklaim cacat, dan bila algoritma menilai foto tersebut meyakinkan, maka pengembalian dana dilakukan tanpa pemeriksaan lanjutan.
Dalam praktiknya, kualitas manipulasi gambar berbasis AI sudah mencapai tingkat yang sulit dibedakan bahkan oleh mata manusia. Akibatnya para pedagang mengalami kerugian yang signifikan.
Salah satu kasus dialami pria bernama Chen, yang merupakan pemilik toko buah dan sayur di Jiaxing. Dalam tiga bulan terakhir, tokonya menerima 9 permintaan refund (pengembalian dana) karena banyak pembeli yang klaim bahwa buah dan sayur yang mereka terima dalam keadaan busuk.
Pada awalnya ia mempercayai pembeli, tetapi setelah klaim refund semakin sering, ia mulai curiga dan menemukan tanda-tanda penyuntingan digital pada bukti foto sayuran dan buah yang diajukan.
Namun, platform e-commerce tempat ia berjualan menyatakan bahwa bukti tersebut tidak cukup kuat untuk membuktikan foto tersebut hasil rekayasa AI, sehingga refund tetap diproses dan berakhir Chen terus merugi.
Beberapa platform belanja online di China kini telah menambahkan alat pendeteksi gambar hasil AI dan memberikan peringatan pada foto yang mencurigakan. Meski begitu, banyak pihak mengakui bahwa akurasi alat tersebut tidak dapat dijamin.
Untuk membenahi sistem ini, pemerintah China sudah memberlakukan aturan ‘Interim Measures for the Management of AI-Generated and Synthetic Content’ yang mewajibkan konten visual buatan AI diberi label, baik berupa watermark maupun penanda data.
Namun penerapan aturan ini masih menghadapi tantangan, termasuk kesulitan mendeteksi label yang dihilangkan secara ilegal. Dengan kemampuan teknologi AI yang berkembang pesat, ancaman penipuan berbasis foto yang direkayasa diperkirakan akan terus berlanjut.






