Kenapa Ya Telur Kalkun Tak Dikonsumsi Seperti Telur Ayam?

Posted on

Meski kalkun menjadi hidangan utama dalam perayaan Thanksgiving di berbagai negara, telur kalkun justru hampir tidak pernah muncul di supermarket maupun dalam menu makanan. Ternyata ini alasannya!

Ternyata hal ini bukan sekadar soal selera, melainkan berkaitan dengan faktor biologis, ekonomi, dan sejarah panjang yang membentuk kebiasaan konsumsi.

Dilansir dari DailyMailUK (03/12/2025), dari sisi produksi, kalkun tidak seefisien ayam dalam menghasilkan telur. Kalkun hanya bertelur 1 hingga 2 butir per minggu, berbeda dengan ayam yang dapat menghasilkan sekitar satu 1 butir setiap 24 jam.

Kimmon Williams dari National Turkey Federation menjelaskan kepada Modern Farmer bahwa kalkun membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai usia bertelur.

“Kalkun memiliki siklus hidup yang lebih panjang, sehingga mereka harus mencapai usia sekitar tujuh bulan sebelum dapat mulai bertelur,” ujarnya. Sementara itu, ayam hanya memerlukan waktu sekitar lima bulan sebelum mulai memproduksi telur.

Biaya pemeliharaan kalkun juga jauh lebih tinggi karena membutuhkan pakan lebih banyak dan ruangan kandang yang lebih besar. Kondisi ini membuat harga telur kalkun tidak kompetitif.

Para peternak diperkirakan harus menjual satu butir telur kalkun dengan harga setidaknya 3 USD (Rp 50 ribu) atau sekitar 36 USD (Rp 600 ribu) untuk satu lusin, jauh lebih mahal dibandingkan telur ayam yang mendominasi pasar. Walaupun beberapa ahli kuliner menilai bahwa kuning telur kalkun lebih kaya dan cocok digunakan untuk saus, rekomendasi tersebut belum cukup meningkatkan permintaan.

Secara historis, kalkun berasal dari Amerika Utara dan menjadi bagian dari makanan masyarakat adat sebelum akhirnya diperkenalkan kepada pemukim Eropa pada abad ke-17. Saat itu, muncul rumor di kalangan masyarakat Prancis bahwa telur kalkun menyebabkan kusta.

Kekhawatiran tersebut dipicu oleh pandangan negatif terhadap makanan yang datang dari wilayah jauh, terutama pada masa ketika penyakit seperti kusta sering dikaitkan dengan hukuman moral. Di Amerika Serikat, telur kalkun sempat dianggap sebagai bahan pangan mewah.

Pada abad ke-18, restoran ternama seperti Delmonico’s di New York menyajikan telur kalkun dalam berbagai olahan, mulai dari telur orak-arik, poached, hingga frittata dan omelet.

Namun perkembangan industri unggas pada abad ke-20 mengubah pola konsumsi. Kemajuan teknologi membuat peternakan ayam jauh lebih efisien, baik untuk produksi telur maupun daging.

Hal ini membuat telur ayam lebih murah dan mudah tersedia, sehingga telur kalkun semakin tersingkir dan akhirnya menghilang dari menu restoran maupun rumah tangga. Kini telur kalkun hanya diminati oleh penggemar kuliner atau peternak kecil, sementara industri kalkun menghadapi tantangan baru.

Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi