Kisah sebuah makanan bisa menjadi cerita menarik untuk disimak. Beberapa makanan bahkan mengalami perubahan kasta atau status sosial seiring berjalannya waktu.
Ada makanan yang dulunya begitu mahal hingga hanya dipamerkan di meja para bangsawan, tapi kini tersedia luas. Lalu ada pula makanan yang justru dianggap makanan orang miskin, kini naik level menjadi hidangan mewah.
Perubahan ini terjadi karena perkembangan teknologi, meningkatnya permintaan, hingga faktor lingkungan yang memengaruhi ketersediaannya.
Dilansir dari Foodunfolded (01/12/2025), berikut lima makanan yang mengalami perubahan kasta dan status sosial dari masa ke masa.
1. Tiram Dulunya Makanan Murah, Kini Menu Mewah
Pada abad ke-18 dan ke-19, tiram merupakan makanan murah yang digunakan sebagai pengganti daging di Eropa hingga Amerika. Kala itu pasokan tiram tersedia melimpah, mudah dibudidayakan, dan digunakan untuk menambah isi sup atau pie. Resep dari abad ke-19 menunjukkan penggunaannya dalam berbagai masakan sehari-hari.
Namun kondisi berubah ketika terjadi pengambilan tiram secara berlebihan serta pencemaran air pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Berkurangnya pasokan tiram meningkatkan nilainya secara signifikan. Wabah penyakit akibat tiram dari perairan tercemar juga memukul industri ini.
Sejak itu produksi dan panen tiram jadi terbatas. Akibatnya, tiram bertransformasi menjadi hidangan mewah yang identik sebagai menu restoran fine dining dan jamuan makan spesial.
2. Berubahnya Status Gula hingga Teh
Sebelum produksi massal berkembang, gula, teh, kopi, dan kakao merupakan komoditas mahal yang hanya dikonsumsi kaum elite di Eropa dan sekitarnya pada era kolonial. Bahan-bahan ini didatangkan dari wilayah tropis dan awalnya dianggap sebagai hadiah eksotis karena kelangkaannya.
Penggunaan gula dalam teh bahkan menjadi simbol status sosial di China . Permintaan tinggi mendorong bangsa Eropa menguasai wilayah penghasilnya, yang sayangnya sering bergantung pada kerja paksa dan perbudakan. Ketika produksi gula, teh dan cokelat meningkat, harga perlahan turun dan bahan-bahan tersebut menjadi konsumsi sehari-hari.
Meski kini mudah diakses, citra kemewahan tetap tersisa dalam produk premium seperti cokelat gourmet, teh khusus, serta set teh hadiah bernilai tinggi. Perubahan ini menunjukkan bagaimana barang mewah bisa menjadi kebutuhan sehari-hari.
3. Lobster Dulunya Makanan Napi
Lobster pernah dianggap makanan bernilai rendah di pesisir Amerika Serikat. Jumlahnya sangat melimpah sehingga digunakan sebagai pupuk dan menu makanan bagi narapidana. Karena tampilannya dianggap kurang menarik dan statusnya sebagai pemakan bangkai, lobster dipandang tidak layak menjadi hidangan mewah.
Perubahan terjadi ketika perusahaan kereta api pada abad ke-19 menyajikan lobster kalengan sebagai menu murah untuk penumpang. Penumpang dari wilayah non-pesisir, yang tidak mengetahui reputasinya, justru menyukai rasanya.
Popularitas lobster meningkat selama era Depresi Besar (Great Depression) dan Perang Dunia II di Amerika, karena ketersediaannya yang tidak terbatas. Setelah perang, lobster mengalami perubahan status kasta sebagai makanan mewah dan akhirnya menjadi hidangan mahal di restoran kelas atas.
4. Quinoa Jadi Superfood Bernilai Tinggi
Quinoa sebenarnya sudah dibudidayakan selama ribuan tahun di wilayah Andes dan merupakan makanan pokok bagi masyarakat setempat.
Meski demikian, quinoa sering kali dianggap sebagai makanan sederhana atau makanan kotor karena statusnya yang rendah dalam budaya lokal.
Situasi berubah ketika quinoa mendapat perhatian di Amerika Serikat dan Eropa sebagai makanan tinggi protein dan bebas gluten. Lonjakan permintaan global menyebabkan harga quin oa melonjak drastis, sehingga sebagian orang-orang di Bolivia dan Peru kesulitan membeli makanan pokok mereka sendiri.
5. Nanas dari Simbol Kemewahan Menjadi Buah Murah
Pada abad ke-17 dan ke-18, buah nanas merupakan simbol kemewahan di Eropa karena sulit dibudidayakan pada iklim dingin. Buah ini hanya dapat tumbuh di rumah kaca yang memiliki sistem pemanas, sehingga harganya setara ribuan Euro. Penggunaannya pun lebih bersifat dekoratif daripada konsumsi.
Nanas kerap dipajang sebagai dekorasi di tengah meja makan untuk menunjukkan status sosial pemiliknya. Bahkan praktik penyewaan nanas muncul bagi mereka yang ingin terlihat kaya raya.
Popularitasnya juga tercermin pada motif arsitektur dan seni yang bertahan sampai sekarang. Namun, ketika kapal uap mulai mengimpor nanas dari wilayah tropis, pasokan buah ini pun meningkat dan harga turun drastis. Perubahan ini menjadikan status nanas beralih dari barang mewah menjadi buah yang murah dan bisa dikonsumsi siapa saja.





3. Lobster Dulunya Makanan Napi
Lobster pernah dianggap makanan bernilai rendah di pesisir Amerika Serikat. Jumlahnya sangat melimpah sehingga digunakan sebagai pupuk dan menu makanan bagi narapidana. Karena tampilannya dianggap kurang menarik dan statusnya sebagai pemakan bangkai, lobster dipandang tidak layak menjadi hidangan mewah.
Perubahan terjadi ketika perusahaan kereta api pada abad ke-19 menyajikan lobster kalengan sebagai menu murah untuk penumpang. Penumpang dari wilayah non-pesisir, yang tidak mengetahui reputasinya, justru menyukai rasanya.
Popularitas lobster meningkat selama era Depresi Besar (Great Depression) dan Perang Dunia II di Amerika, karena ketersediaannya yang tidak terbatas. Setelah perang, lobster mengalami perubahan status kasta sebagai makanan mewah dan akhirnya menjadi hidangan mahal di restoran kelas atas.
4. Quinoa Jadi Superfood Bernilai Tinggi
Quinoa sebenarnya sudah dibudidayakan selama ribuan tahun di wilayah Andes dan merupakan makanan pokok bagi masyarakat setempat.
Meski demikian, quinoa sering kali dianggap sebagai makanan sederhana atau makanan kotor karena statusnya yang rendah dalam budaya lokal.
Situasi berubah ketika quinoa mendapat perhatian di Amerika Serikat dan Eropa sebagai makanan tinggi protein dan bebas gluten. Lonjakan permintaan global menyebabkan harga quin oa melonjak drastis, sehingga sebagian orang-orang di Bolivia dan Peru kesulitan membeli makanan pokok mereka sendiri.


5. Nanas dari Simbol Kemewahan Menjadi Buah Murah
Pada abad ke-17 dan ke-18, buah nanas merupakan simbol kemewahan di Eropa karena sulit dibudidayakan pada iklim dingin. Buah ini hanya dapat tumbuh di rumah kaca yang memiliki sistem pemanas, sehingga harganya setara ribuan Euro. Penggunaannya pun lebih bersifat dekoratif daripada konsumsi.
Nanas kerap dipajang sebagai dekorasi di tengah meja makan untuk menunjukkan status sosial pemiliknya. Bahkan praktik penyewaan nanas muncul bagi mereka yang ingin terlihat kaya raya.
Popularitasnya juga tercermin pada motif arsitektur dan seni yang bertahan sampai sekarang. Namun, ketika kapal uap mulai mengimpor nanas dari wilayah tropis, pasokan buah ini pun meningkat dan harga turun drastis. Perubahan ini menjadikan status nanas beralih dari barang mewah menjadi buah yang murah dan bisa dikonsumsi siapa saja.





