Perayaan Tahun Baru Islam juga identik dengan penyajian beragam kuliner khas. Salah satunya bubur suro yang lezat dan sarat akan makna.
Tahun Baru Islam (1 Muharram) atau Tahun Baru Hijriah merupakan perayaan yang dimaknai agar umat Islam dapat mengambil i’tibar (pelajaran) dari peristiwa hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah.
Tak sekadar tradisi, tetapi Tahun Baru Islam juga memiliki makna mendalam yang berkaitan dengan rasa syukur, berbagi, dan harapan akan keberkahan pada tahun yang baru.
Perayaan ini juga identik dengan penyajian berbagai hidangan khas. Salah satunya bubur suro yang telah menjadi tradisi banyak masyarakat Indonesia, khususnya di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Tradisi bubur suro dipercaya memiliki makna dan filosofi mendalam. Untuk mengetahui lebih dalam, simak 5 fakta bubur suro yang menjadi hidangan perayaan tahun baru Islam.
Bubur suro yang diambil dari kata ‘Asyuro’ memiliki tradisi pembuatan yang memiliki kemiripan dengan apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Nuh dan kaumnya. Menurut sejarah, setelah banjir besar mereda dan bahtera Nabi Nuh bersandar di atas gunung Judi, para penumpang kapal mengumpulkan sisa bahan makanan yang ada lalu memasaknya menjadi bubur sederhana, seperti dikutip dari infotren.id (27/06/2025).
Bubur tersebut kemudian disantap bersama sebagai bentuk rasa syukur atas keselamatan yang diberikan oleh Allah SWT.
Tradisi ini kemudian diadaptasi oleh masyarakat Muslim di Nusantara menjadi bubur suro. Seiring waktu, dipadukan dengan budaya lokal dan setiap daerah memiliki perbedaan tersendiri dalam proses pembuatannya.
Dalam sejarah masyarakat Jawa, bubur suro diketahui menjadi sajian untuk memperingati hari pertama dalam kalender Jawa di bulan suro atau sura. Momen tersebut pun bertepatan dengan 1 Muharam kalender Hijriah. Mengingat kalender Jawa yang diterbitkan oleh Sultan Agung mengacu pada kalender Hijriah.
Memberikan bubur kepada masyarakat setempat selama merayakan Tahun Baru islam sekaligus 1 suro lalu menjadi tradisi turun temurun.
Bubur suro dikenal melambangkan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas berkah dan rezeki yang diperoleh.
Konon tradisi bubur suro sudah ada sejak masa kepemimpinan Sultan Agung di Tanah Jawa. Hidangan ini sering hadir dalam upacara adat Jawa lainnya.
Bubur suro pun bukanlah sesajen yang bersifat animistik. Namun, hidangan ini dianggap syarat dengan lambang sebagai alat untuk memaknai 1 Suro atau Tahun Baru yang akan datang.